Sebuah Kitab karangan waliyullah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.
"...(wacana-wacana
ini) diilhamkan kepadaku dari khazanah dunia ghaib.." Karya terpenting
sang wali -- disamping Fath al-Rabbani dan Qasidah al-Ghautsiyah.
Terlepas dari sifatnya yang nyata-nyata mistis, kumpulan berbagai wacana
tentang masalah tasawuf ini, mudah dipahami. Sayyid Abu Muhammad Abdul
Qadir Jailani, lahir di Jilan, Persia pada 1077M, adalah seorang
wali-sufi yang telah mencapai peringkat ghauts -- yang, dalam
peristilahan tasawuf, hanya berada setingkat di bawah Nabi. Sebagai
seorang mujahid pemelihara ruh Islam, ia adalah muhyiddin (pembangkit
iman) yang berpengaruh atas sejarah Islam, hingga kini.Tiga hal mutlak bagi seorang Mukmin, dalam segala keadaan, yaitu:
1. harus menjaga perintah-perintah Allah,
2. harus menghindar dari segala yang haram,
3. harus ridha dengan takdir Yang Maha Kuasa. Ia bertutur:
Tiga hal mutlak bagi seorang Mukmin, dalam segala keadaan, yaitu:
1. harus menjaga perintah-perintah Allah,
2. harus menghindar dari segala yang haram,
3. harus ridha dengan takdir Yang Maha Kuasa. Jadi seorang Mukmin,
paling tidak, memiliki tiga hal ini. Berarti, ia harus memutuskan untuk
ini, dan berbicara dengan diri sendiri tentang hal ini serta mengikat
organ-organ tubuhnya dengan ini
Ia bertutur : Ikutilah (Sunnah Rasul) dengan penuh keimanan, jangan
membuat bid'ah, patuhilah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan
melanggar; junjung tinggilah tauhid dan jangan menyekutukan Dia;
sucikanlah Dia senantiasa dan jangan menisbatkan sesuatu keburukan pun
kepada-Nya.
Pertahankan Kebenaran-Nya dan jangan ragu sedikit pun. Bersabarlah
selalu dan jangan menunjukkan ketidaksabaran. Beristiqomahlah;
berharaplah kepada-Nya, jangan kesal, tetapi bersabarlah. Bekerjasamalah
dalam ketaatan dan jangan berpecah-belah. Saling mencintailah dan
jangan saling mendendam. Jauhilah kejahatan dan jangan ternoda olehnya.
Percantiklah dirimu dengan ketaatan kepada Tuhanmu; jangan menjauh dari
pintu-pintu Tuhanmu; jangan berpaling dari-Nya. Segeralah bertaubat dan
kembali kepada-Nya. Jangan merasa jemu dalam memohon ampunan kepada
Khaliqmu, baik siang maupun malam; (jika kamu berlaku begini) niscaya
rahmat dinampakkan kepadamu, maka kamu bahagia, terjauhkan dari api
neraka dan hidup bahagia di surga, bertemu Allah, menikmati rahmat-Nya,
bersama-sama bidadari di surga dan tinggal di dalamnya untuk selamanya;
mengendarai kuda-kuda putih, bersuka ria dengan hurhur bermata putih dan
aneka aroma, dan melodi-melodi hamba-hamba sahaya wanita, dengan
karunia-karunia lainnya; termuliakan bersama para nabi, para shiddiq,
para syahid, dan para shaleh di surga yang tinggi.
Ia bertutur: Apabila seorang hamba Allah mengalami kesulitan hidup, maka
pertama-tama ia mencoba mengatasinya dengan upayanya sendiri. Bila
gagal ia mencari pertolongan kepada sesamanya, khususnya kepada raja,
penguasa, hartawan; atau bila dia sakit, kepada dokter. Bila hal ini pun
gagal, maka ia berpaling kepada Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi
Maha Kuasa, dan berdo'a kepada-Nya dengan kerendah-hatian dan pujian.
Bila ia mampu mengatasinya sendiri, maka ia takkan berpaling kepada
sesamanya, demikian pula bila ia berhasil karena sesamanya, maka ia
takkan berpaling kepada sang Khaliq.
Kemudian bila tak juga memperoleh pertolongan dari Allah, maka
dipasrahkannya dirinya kepada Allah, dan terus demikian, mengemis,
berdo'a merendah diri, memuji, memohon dengan harap-harap cemas. Namun,
Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa membiarkan ia letih dalam berdo'a
dan tak mengabulkannya, hingga ia sedemikian terkecewakan terhadap
segala sarana duniawi. Maka kehendak-Nya mewujud melaluinya, dan hamba
Allah ini berlalu dari segala sarana duniawi, segala aktivitas dan upaya
duniawi, dan bertumpu pada ruhaninya. Pada peringkat ini, tiada
terlihat olehnya, selain kehendak Allah Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa,
dan sampailah dia tentang Keesaan Allah, pada peringkat haqqul yaqin (*
tingkat keyakinan tertinggi yang diperoleh setelah menyaksikan dengan
mata kepala dan mata hati). Bahwa pada hakikatnya, tiada yang melakukan
segala sesuatu kecuali Allah; tak ada penggerak tak pula penghenti,
selain Dia; tak ada kebaikan, kejahatan, tak pula kerugian dan
keuntungan, tiada faedah, tiada memberi tiada pula menahan, tiada awal,
tiada akhir, tak ada kehidupan dan kematian, tiada kemuliaandan
kehinaan, tak ada kelimpahan dan kemiskinan, kecuali karena ALLAH. Maka
di hadapan Allah, ia bagai bayi di tangan perawat, bagai mayat
dimandikan, dan bagai bola di tongkat pemain polo, berputar dan bergulir
dari keadaan ke keadaan, dan ia merasa tak berdaya. Dengan demikian, ia
lepas dari dirinya sendiri, dan melebur dalam kehendak Allah. Maka tak
dilihatnya kecuali Tuhannya dan kehendak-Nya, tak didengar dan tak
dipahaminya, kecuali Ia. Jika melihat sesuatu, maka sesuatu itu adalah
kehendak-Nya; bila ia mendengar atau mengetahui sesuatu, maka ia
mendengar firman-Nya, dan mengetahui lewat ilmu-Nya. Maka terkaruniailah
dia dengan karunia-Nya, dan beruntung lewat kedekatan dengan-Nya, dan
melalui kedekatan ini, ia menjadi mulia, ridha, bahagia, dan puas dengan
janji-Nya, dan bertumpu pada firman-Nya. Ia merasa enggan dan menolak
segala selain Allah, ia rindu dan senantiasa mengingat-Nya; makin
mantaplah keyakinannya pada-Nya, Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa. Ia
bertumpu pada-Nya, memperoleh petunjuk dari-Nya, berbusana nur ilmu-Nya,
dan termuliakan oleh ilmu-Nya. Yang didengar dan diingatnya adalah
dari-Nya. Maka segala syukur, puji, dan sembah tertuju kepada-Nya.
Ia bertutur: Apabila seorang hamba Allah mengalami kesulitan hidup, maka
pertama-tama ia mencoba mengatasinya dengan upayanya sendiri. Bila
gagal ia mencari pertolongan kepada sesamanya, khususnya kepada raja,
penguasa, hartawan; atau bila dia sakit, kepada dokter. Bila hal ini pun
gagal, maka ia berpaling kepada Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi
Maha Kuasa, dan berdo'a kepada-Nya dengan kerendah-hatian dan pujian.
Bila ia mampu mengatasinya sendiri, maka ia takkan berpaling kepada
sesamanya, demikian pula bila ia berhasil karena sesamanya, maka ia
takkan berpaling kepada sang Khaliq.
Ia bertutur: Apabila seorang hamba Allah mengalami kesulitan hidup, maka
pertama-tama ia mencoba mengatasinya dengan upayanya sendiri. Bila
gagal ia mencari pertolongan kepada sesamanya, khususnya kepada raja,
penguasa, hartawan; atau bila dia sakit, kepada dokter. Bila hal ini pun
gagal, maka ia berpaling kepada Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi
Maha Kuasa, dan berdo'a kepada-Nya dengan kerendah-hatian dan pujian.
Bila ia mampu mengatasinya sendiri, maka ia takkan berpaling kepada
sesamanya, demikian pula bila ia berhasil karena sesamanya, maka ia
takkan berpaling kepada sang Khaliq. Kemudian bila tak juga memperoleh
pertolongan dari Allah, maka dipasrahkannya dirinya kepada Allah, dan
terus demikian, mengemis, berdo'a merendah diri, memuji, memohon dengan
harap-harap cemas. Namun, Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa
membiarkan ia letih dalam berdo'a dan tak mengabulkannya, hingga ia
sedemikian terkecewakan terhadap segala sarana duniawi. Maka
kehendak-Nya mewujud melaluinya, dan hamba Allah ini berlalu dari segala
sarana duniawi, segala aktivitas dan upaya duniawi, dan bertumpu pada
ruhaninya. Pada peringkat ini, tiada terlihat olehnya, selain kehendak
Allah Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan sampailah dia tentang Keesaan
Allah, pada peringkat haqqul yaqin (* tingkat keyakinan tertinggi yang
diperoleh setelah menyaksikan dengan mata kepala dan mata hati). Bahwa
pada hakikatnya, tiada yang melakukan segala sesuatu kecuali Allah; tak
ada penggerak tak pula penghenti, selain Dia; tak ada kebaikan,
kejahatan, tak pula kerugian dan keuntungan, tiada faedah, tiada memberi
tiada pula menahan, tiada awal, tiada akhir, tak ada kehidupan dan
kematian, tiada kemuliaandan kehinaan, tak ada kelimpahan dan
kemiskinan, kecuali karena ALLAH. Maka di hadapan Allah, ia bagai bayi
di tangan perawat, bagai mayat dimandikan, dan bagai bola di tongkat
pemain polo, berputar dan bergulir dari keadaan ke keadaan, dan ia
merasa tak berdaya. Dengan demikian, ia lepas dari dirinya sendiri, dan
melebur dalam kehendak Allah. Maka tak dilihatnya kecuali Tuhannya dan
kehendak-Nya, tak didengar dan tak dipahaminya, kecuali Ia. Jika melihat
sesuatu, maka sesuatu itu adalah kehendak-Nya; bila ia mendengar atau
mengetahui sesuatu, maka ia mendengar firman-Nya, dan mengetahui lewat
ilmu-Nya. Maka terkaruniailah dia dengan karunia-Nya, dan beruntung
lewat kedekatan dengan-Nya, dan melalui kedekatan ini, ia menjadi mulia,
ridha, bahagia, dan puas dengan janji-Nya, dan bertumpu pada
firman-Nya. Ia merasa enggan dan menolak segala selain Allah, ia rindu
dan senantiasa mengingat-Nya; makin mantaplah keyakinannya pada-Nya,
Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa. Ia bertumpu pada-Nya, memperoleh
petunjuk dari-Nya, berbusana nur ilmu-Nya, dan termuliakan oleh
ilmu-Nya. Yang didengar dan diingatnya adalah dari-Nya. Maka segala
syukur, puji, dan sembah tertuju kepada-Nya.
Ia bertutur: Bila kamu abaikan ciptaan, maka: "Semoga Allah
merahmatimu," Allah melepaskanmu dari kedirian, "Semoga Allah
merahmatimu," Ia mematikan kehendakmu; "Semoga Allah merahmatimu," maka
Allah mendapatkanmu dalam kehidupan (baru).
Ia bertutur: Bila kamu abaikan ciptaan, maka: "Semoga Allah
merahmatimu," Allah melepaskanmu dari kedirian, "Semoga Allah
merahmatimu," Ia mematikan kehendakmu; "Semoga Allah merahmatimu," maka
Allah mendapatkanmu dalam kehidupan (baru). Kini kau terkaruniai
kehidupan abadi; diperkaya dengan kekayaan abadi; dikaruniai kemudahan
dan kebahagiaan nan abadi, dirahmati,dilimpahi ilmu yang tak kenal
kejahilan; dilindungi dari ketakutan; dimuliakan, hingga tak terhina
lagi; senantiasa terdekatkan kepada Allah, senantiasa termuliakan;
senantiasa tersucikan; maka menjadilah kau pemenuh segala harapan, dan
ibaan pinta orang mewujud pada dirimu; hingga kau sedemikian
termuliakan, unik, dan tiada tara; tersembunyi dan terahasiakan. Maka,
kau menjadi pengganti para Rasul, para Nabi dan para shiddiq. Kaulah
puncak wilayat, dan para wali yang masih hidup akan mengerumunimu.
Segala kesulitan terpecahkan melaluimu, dan sawah ladang terpaneni
melalui do'amu; dan sirnalah melalui do'amu, segala petaka yang menimpa
orang-orang di desa terpencil pun, para penguasa dan yang dikuasai, para
pemimpin dan para pengikut, dan semua ciptaan. Dengan demikian kau
menjadi agen polisi (kalau boleh disebut begitu) bagi kota-kota dan
masyarakat. Orang-orang bergegas-gegas mendatangimu, membawa bingkisan
dan hadiah, dan mengabdi kepadamu, dalam segala kehidupan, dengan izin
sang Pencipta segalanya. Lidah mereka senantiasa sibuk dengan doa dan
syukur bagimu, di manapun mereka berada. Tiada dua orang Mukmin
berselisih tentangmu. Duhai, yang terbaik di antara penghuni bumi,
inilah rahmat Allah, dan Allahlah Pemilik segala rahmat.
Ia bertutur: Bila kau melihat dunia ini, berada di tangan mereka, dengan
segala hiasan, dan tipuannya, dengan segala bisa mematikannya, yang
tampak lembut sentuhannya, padahal, sebenarnya mematikan bagi yang
menyentuhnya, mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan
kemudharatan tipu daya dan janji-janji palsunya - bila kau lihat semua
ini - berlakulah bagai orang yang melihat seseorang menuruti nalurinya,
menonjolkan diri, dan karenanya, mengeluarkan bau busuk. Bila (dalam
situasi semacam itu) kau enggan memperhatikan kebusukannya, dan menutup
hidung dari bau busuk itu, begitu pula kau berlaku terhadap dunia; bila
kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala kepalsuan, dan
tutuplah hidungmu dari kebusukan hawa nafsu, agar kau aman darinya dan
segala tipu-dayanya, sedang bagianmu menghampirimu segera, dan kau
menikmatinya. Allah telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya: "Dan
janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan
kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia,
untuk Kami uji mereka dengannya, dan karunia Tuhanmu lebih baik dan
lebih kekal." (QS.20 -Thaaha :131).
Ia bertutur: Bila kau melihat dunia ini, berada di tangan mereka, dengan
segala hiasan, dan tipuannya, dengan segala bisa mematikannya, yang
tampak lembut sentuhannya, padahal, sebenarnya mematikan bagi yang
menyentuhnya, mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan
kemudharatan tipu daya dan janji-janji palsunya - bila kau lihat semua
ini - berlakulah bagai orang yang melihat seseorang menuruti nalurinya,
menonjolkan diri, dan karenanya, mengeluarkan bau busuk. Bila (dalam
situasi semacam itu) kau enggan memperhatikan kebusukannya, dan menutup
hidung dari bau busuk itu, begitu pula kau berlaku terhadap dunia; bila
kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala kepalsuan, dan
tutuplah hidungmu dari kebusukan hawa nafsu, agar kau aman darinya dan
segala tipu-dayanya, sedang bagianmu menghampirimu segera, dan kau
menikmatinya. Allah telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya: "Dan
janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan
kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia,
untuk Kami uji mereka dengannya, dan karunia Tuhanmu lebih baik dan
lebih kekal." (QS.20 -Thaaha :131).
Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluq-Nya, dan
menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikanNya; sehingga kau menjadi
pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan,
kedamaian, dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan
akhir, dan sekaigus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu,
dari berbagai maqam, senantiasa beralih, hingga akhir hayat mereka, dari
kehendak pribadi kepada kehendak Allah. Karena itulah mereka disebut
badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang berarti: berubah).
Bagi pribadi-pribadi ini, menggabungkan kehendak pribadi dengan kehendak
Allah, adalah suatu dosa.
Ia bertutur: Lenyaplah dari (pandangan) manusia, dengan perintah Allah,
dan dari kedirian, dengan perintah-Nya, hingga kau menjadi bahtera
ilmu-Nya. Lenyapnya diri dari manusia, ditandai oleh pemutusan diri
sepenuhnya dari mereka, dan pembebasan jiwa dari segala harapan mereka.
Tanda lenyapnya diri dari segala nafsu ialah, membuang segala upaya
memperoleh sarana-sarana duniawi dan berhubungan dengan mereka demi
sesuatu manfaat, menghindarkan kemudharatan; dan tak bergerak demi
kepentingan pribadi, dan tak bergantung pada diri sendiri dalam hal-hal
yang berkenaan dengan dirimu, tak melindungi atau membantu diri, tetapi
memasrahkan semuanya hanya kepada Allah, karena Ia pemilik segalanya
sejak awal hingga akhirnya; sebagaimana kuasaNya, ketika kau masih
disusui. Hilangnya kemauanmu dengan kehendakNya, ditandai dengan
katak-pernahan menentukan diri, ketakbertujuan, ketakbutuhan, karena tak
satu tujuan pun termiliki, kecuali satu, yaitu Allah. Maka, kehendak
Allah mewujud dalam dirimu, sehingga kala kehendakNya beraksi, maka
pasiflah organ-organ tubuh, hati pun tenang, pikiran pun cerah,
berserilah wajah dan ruhanimu, dan kau atasi kebutuhan-kebutuhan bendawi
berkat berhubungan dengan Pencipta segalanya. Tangan Kekuasaan
senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan
Semesta alam mengajarmu, dan membusanaimu dengan nurNya dan busana
ruhani, dan mendapatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah
mendahuluimu. Sesudah ini, kau selalu berhasil menaklukkan diri, hingga
tiada lagi pada dirimu kedirian, bagai sebuah bejana yang hancur lebur,
yang bersih dari air, atau larutan. Dan kau terjauhkan dari segala gerak
manusiawi, hingga ruhanimu menolak segala sesuatu, kecuali kehendak
Allah. Pada maqam ini, keajaiban dan adialami akan ternisbahkan
kepadamu. Hal-hal ini tampak seolah-olah darimu, padahal sebenarnya dari
Allah. Maka kau diakui sebagai orang yang hatinya telah tertundukkan,
dan kediriannya telah musnah, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi dan
dambaan-dambaan baru dalam kemaujudan sehari-hari. Mengenai maqam ini,
Nabi Suci saw, telah bersabda: "Tiga hal yang kusenangi dari dunia -
wewangian, wanita dan shalat - yang pada mereka tersejukkan mataku."
Sungguh, hal-hal dinisbahkan kepadanya, setelah hal-hal itu sirna
darinya, sebagaimana telah kami isyaratkan. Allah berfirman: "Aku
bersama orang-orang yang patah hati demi Aku." Allah Yang Maha Tinggi
takkan besertamu, sampai kedirianmu sirna. Dan bila kedirianmu telah
sirna, dan kau abaikan segala sesuatu, kecuali Dia, maka Allah
menyegarbugarkan kamu, dan memberimu kekuatan baru, yang dengan itu, kau
berkehendak. Bila di dalam dirimu masih juga terdapat noda terkecil
pun, maka Allah meremukkanmu lagi, hingga kau senantiasa patah-hati.
Dengan cara begini Ia terus menciptakan kemauan baru di dalam dirimu,
dan bila kedirian masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai akhir
hayat dan bertemu (liqa) dengan Tuhan. Inilah makna firman Allah: " Aku
bersama orang-orang yang putus asa demi Aku, " Dan makna kata: "Kedirian
masih maujud" ialah kemasihkukuhan dan kemasih puasan dengan
keinginan-keinginan barumu. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman
kepada Nabi Suci saw: "Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri
kepada-Ku, dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan,
sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku
menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya,
dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan
menjadi kakinya, dengannya ia berjalan." Tak dir agukan lagi, beginilah
keadaan fana. Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluq-Nya, dan
menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikanNya; sehingga kau menjadi
pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan,
kedamaian, dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan
akhir, dan sekaigus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu,
dari berbagai maqam, senantiasa beralih, hingga akhir hayat mereka, dari
kehendak pribadi kepada kehendak Allah. Karena itulah mereka disebut
badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang berarti: berubah).
Bagi pribadi-pribadi ini, menggabungkan kehendak pribadi dengan kehendak
Allah, adalah suatu dosa. Bila mereka lalai, terbawa oleh tipuan
perasaan dan ketakutan, maka Allah Yang Maha Besar menolong mereka
dengan kasih sayangNya, dengan mengingatkan mereka sehingga mereka sadar
dan berlindung kepada Tuhan, karena tak satu pun mutlak bersih dari
dosa kehendak, kecuali para malaikat. Para malaikat senantiasa suci
dalam kehendak, para Nabi senantiasa terbebas dari kedirian, sedang para
jin dan manusia yang dibebani pertanggung jawaban moral, tak
terlindungi. Tentu, para wali terlindung dari kedirian, dan para badal
dari kekotoran kehendak. Kendati mereka tak bisa dianggap terbebas dari
dua keburukan ini, karena mungkin bagi mereka berkecenderung kepada dua
kelemahan ini, tapi Allah melimpahi rahmatNya dan menyadarkan mereka.
Keluarlah dari kedirian, jauhilah dia, dan pasarahkanlah segala sesuatu
kepada Allah, jadilah penjaga pintu hatimu, patuhilah senantiasa
perintah-perintah-Nya, hormatilah larangan-larangan-Nya, dengan
menjauhkan segala yang diharamkan-Nya. Jangan biarkan kedirianmu masuk
ke dalam hatimu, setelah keterbuanganmu. Mengusir kedirian dari hati,
haruslah disertai pertahanan terhadapnya, dan menolak pematuhan
kepadanya dalam segala keadaan.
Ia bertutur: Keluarlah dari kedirian, jauhilah dia, dan pasarahkanlah
segala sesuatu kepada Allah, jadilah penjaga pintu hatimu, patuhilah
senantiasa perintah-perintah-Nya, hormatilah larangan-larangan-Nya,
dengan menjauhkan segala yang diharamkan-Nya. Jangan biarkan kedirianmu
masuk ke dalam hatimu, setelah keterbuanganmu. Mengusir kedirian dari
hati, haruslah disertai pertahanan terhadapnya, dan menolak pematuhan
kepadanya dalam segala keadaan. Mengizinkan ia masuk ke dalam hati,
berarti rela mengabdi kepadanya, dan berintim dengannya. Maka, jangan
menghendaki segala yang bukan kehendak Allah. Segala kehendak yang bukan
kehendak Allah, adalah kedirian, yang adalah rimba kejahilan, dan hal
itu membinasakanmu, dan penyebab keterasingan dari-Nya. Karena itu,
jagalah perintah Allah, jauhilah larangan-Nya, berpasrahlah selalu
kepada-Nya dalam segala yang telah ditetapkan-Nya, dan jangan sekutukan
Dia dengan sesuatu pun. Jangan berkehendak diri, agar tak tergolong
orang-orang musyrik. Allah berfirman: "Barang siapa mengharap penjumpaan
(liqa) dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal saleh dan tidak
menyekutukanNya." (QS 18.Al Kahfi: 110) Kesyirikan tak hanya
penyembahan berhala. Pemanjaan nafsu jasmani, dan menyamakan segala yang
ada di dunia dan akhirat dengan Allah, juga syirik. Sebab selain Allah
adalah bukan Tuhan. Bila kau tenggelamkan dalam sesuatu selain Allah
berarti kau menyekutukan-Nya. Oleh sebab itu, waspadalah, jangan
terlena. Maka dengan menyendiri, akan diperoleh keamanan. Jangan
menganggap dan mengklaim segala kemaujudan atau maqam-mu, berkat kau
sendiri. Maka, bila kau berkedudukan, atau dalam keadaan tertentu,
jangan membicarakan hal itu kepada orang lain. Sebab dalam perubahan
nasib yang terjadi dari hari ke hari, keagungan Allah mewujud, dan Allah
mengantarai hamba-hambaNya dan hati-hati mereka. Bisa-bisa yang kau
percakapkan, sirna darimu, dan yang kau anggap abadi, berubah, hingga
kau termalukan di hadapan yang kau ajak bicara. Simpanlah pengetahuan
ini dalam lubuk hatimu, dan jangan perbincangkakn dengan orang lain.
Maka jika hal itu terus maujud, maka hal itu akan membawa kemajuan dalam
pengetahuan, nur, kesadaran dan pandangan. Allah berfirman: "Segala
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan terlupakan, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya, atau yang sepertinya. Tidakkah kamu ketahui
bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS 2.Al Baqarah: 106)
Jangan menganggap Allah tak berdaya dalam sesuatu hal, jangan menganggap
ketetan-Nya tak sempurna, dan jangan sedikit pun ragu akan janji-Nya.
Dalam hal ini ada sebuah contoh luhur dalam Nabi Allah. Ayat-ayat dan
surah-surah yang diturunkan kepadanya, dan yang dipraktekkan,
dikumandangkan di masjid-masjid, dan termaktub di dalam kitab-kitab.
Mengenai hikmah dan keadaan ruhani yang dimilikinya, ia sering
mengatakan bahwa hatinya sering tertutup awan, dan ia berlindung kepada
Allah tujuh puluh kali sehari. Diriwayatkan pula, bahwa dalam sehari ia
dibawa dari satu hal ke hal lain sebanyak seratus kali, sampai ia berada
pada maqam tertinggi dalam kedekatan dengan Allah. Ia diperintahkan
untuk meminta perlindungan kepada Allah, karena sebaik-baik seorang
hamba yaitu berlindung dan berpaling kepada Allah. Karena, dengan
begini, ada pengakuan akan dosa dan kesalahannya, dan inilah dua macam
mutu yang terdapat pada seorang hamba, dalam segala keadaan kehidupan,
dan yang dimilikinya sebagai pusaka dari Adam as., 'bapak' manusia, dan
pilihan Allah. Berkatalah Adam a.s.: "Wahai Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tak mengampuni kami, dan
merahmati kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi."
(QS. 7.Al-A'raaf: 23). Maka turunlah kepadanya cahaya petunjuk dan
pengetahuan tentang taubat, akibat dan tentang hikmah di balik peristiwa
ini, yang takkan terungkap tanpa ini; lalu Allah berpaling kepada
mereka dengan penuh kasih sayang, sehingga mereka bisa bertaubat. Dan
Allah mengembalikannya ke hal semua, dan beradalah ia pada peringkat
wilayat yang lebih tinggi, dan ia dikaruniai maqam di dunia dan akhirat.
Maka menjadilah dunia ini tempat kehidupannya dan keturunannya, sedang
akhirat sebagai tempat kembali dan tempat peristirahatan abadi mereka.
Maka, ikutilah Nabi Muhammad Saw., kekasih dan pilihan Allah, dan nenek
moyangnya, Adam, pilihan-Nya - keduanya adalah kekasih Allah - dalam hal
mengakui kesalahan dan berlindung kepada-Nya dari dosa-dosa, dan dalam
hal bertawadhu' dalam segala keadaan kehidupan.
Ia bertutur: Bila kau berada dalam hal tertentu, jangan mengharapkan hal
yang lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Jadi bila
kau berada di pintu gerbang istana Raja, jangan berkeinginan untuk masuk
ke istana itu, kecuali terpaksa. Yang dimaksud dengan terpaksa ialah
diperintah terus-menerus.
Ia bertutur: Bila kau berada dalam hal tertentu, jangan mengharapkan hal
yang lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Jadi bila
kau berada di pintu gerbang istana Raja, jangan berkeinginan untuk masuk
ke istana itu, kecuali terpaksa. Yang dimaksud dengan terpaksa ialah
diperintah terus-menerus. Dan jangan menganggapnya sebagai izin masuk,
karena mungkin saja Raja menjebakmu. Tapi, bersabarlah, sampai kau
benar-benar dipaksa memasukinya oleh sang Raja. Dengan demikian, sang
Raja takkan menghukummu, karena Dia sendiri menghendakinya. Jika kau toh
dihukum, tentu disebabkan oleh keburukan kehendak, kerakusan,
ketaksabaran, kekurangajaran, dan keinginanmu untuk berpuas dengan
keadaan kehidupanmu. Bila kau harus masuk ke dalamnya karena terpaksa,
masuklah dengan penuh ketenangan dan ketundukan pandangan, bersikaplah
yang layak dan indahkanlah semua perintah-Nya dengan sepenuh jiwa tanpa
mengharapkan kemajuan dalam tingkat kehidupan. Allah berfirman kepada
Rasul pilihan-Nya : "Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada
yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka sebagai
hiasan hidup, untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu
lebih baik dan abadi." (QS 20. Thaahaa: 131) Dengan firman-Nya: "Dan
karunia Tuhanmu lebih baik dan abadi". Allah memperingatkan Nabi
pilihan-Nya, agar menghargai hal yang ada, dan mensyukuri
karunia-karunia-Nya. Dengan kata lain, perintah ini adalah sebagai
berikut: "Segala yang telah Aku karuniakan kepadamu - kebaikan,
kenabian, ilmu, keridhaan, kesabaran, kerajaan agama, dan jihad di
jalanKu - lebih baik dan lebih berharga ketimbang semua yang Kuberikan
kepada yang lain." Jadi, segala kebaikan terletak pada menghargai dan
mensyukuri keadaan yang ada, dan menghindarkan selainnya, karena hal
semacam itu merupakan cobaan dari-Nya. Jadi bila sesuatu telah
ditentukan-Nya bagimu, tentu sesuatu itu akan datang kepadamu, suka atau
tidak suka. Karenanya, sungguh tak patut, bila kekuranglayakan dan
kerakusan terwujud padamu, kedua-duanya tertolak oleh akal dan ilmu. Dan
jika sesuatu itu ditakdirkan-Nya bagi orang lain, mengapa kau bersusah
payah meraih sesuatu yang tak bisa kau raih? Dan jika sesuatu tak
diturunkan-Nya kepada siapapun, hanya sebagai cobaan, mana mungkin
seorang arif menyukainya dan berupaya keras meraih itu? Terbuktilah,
bahwa seluruh kebaikan dan keselamatan terletak pada menghargai keadaan
yang ada. Maka, bila kau dinaikkan ke tingkat atas, sampai ke atap
istana, maka kau sebagaimana telah kami nyatakan, mesti sadar diri,
tenang, dan baik-laku. Kau mesti berbuat lebih dari ini, sebab kau kini
lebih dekat kepada sang Raja, dan lebih dekat kepada marabahaya. Maka,
jangan menginginkan perubahan keadaan yang ada padamu. Nah, kau tak
punya pilihan dalam masalah ini, sebab hal itu mendorong
ketakbersyukuran atas rahmat-rahmat yang ada, dan cita semacam ini
menjadikan terhina, baik di dunia maupun di akhirat. Maka berlakulah
sebagamana yang telah kami nasihatkan kepadamu, sampai kau dikarunia
oleh Allah maqam yang teguh, dan takkan tergoyahkan dengan segala tanda
dan isyaratnya. Karena itu, tambatkanlah padanya dan jangan biarkan
dirimu lepas darinya. (Keadaan perubahan ruhani) adalah milik para wali,
sedang maqam (peringkat ruhani) adalah milik para badal.
Diriwayatkan, bahwa Nabi saw. Sering berkata kepada Hadhrat Bilal sang
muadzin: "Wahai Bilal, gembirakanlah hati kami," Maksud beliau,
hendaklah ia serukan azan agar beliau bisa shalat, guna merasakan
perwujudan-perwujudan rahmat Ilahi, sebagaimana telah kita bicarakan.
Itulah sebabnya Nabi saw bersabda: "Dan mataku sejuk, bila aku shalat."
Ia bertutur: KehendakNya terwujud, secara kasyf (penglihatan ruhani) dan
musyahida (pengalaman-pengalama ruhani), pada para wali dan badal, yang
tak terjangkau nalar manusia dan kebiasaan. Perwujudan ini terbentuk:
jalal (keagungan), dan jamal (keindahan). Jalal menghasilkan
kegelisahan, pemahaman yang menggundahkan, dan sedemikian menguasai
hati, sehingga gejala-gejalanya tampak pada jasmani. Diriwayatkan bila
Rasulullah shalat, dari hatinya terdengar gemuruh, bak air mendidih di
dalam ketel, karena intensitas ketakutan yang timbul dari penglihatan
beliau akan Kekuasaan dan KebesaranNya. Diriwayatkan bahwa pilihan
Allah, Nabi Ibrahim as dan Umar sang Khalifah ra, juga mengalami keadaan
yang serupa. Mengalami perwujudan keindahan Ilahi merupakan refleksiNya
pada hati manusia yang mewujudkan nur, keagungan, kata-kata manis,
ucapan penuh kasih-sayang, dan kegembiraan atas kelimpahan keruniaNya,
maqam yang tinggi, dan keakraban denganNya -- yang kepadaNya segala
urusan mereka kembali -- dan atas takdir yang telah ditetapkanNya jauh
di masa lampau. Inilah karunia dan rahmatNya, dan pengukuhan atas mereka
di dunia ini, sampai waktu tertentu. Ini dilakukan agar mereka tak
melampaui kadar cinta yang layak dalam keinginan mereka akan hal itu,
dan karenanya, hati mereka takkan berputus asa, kendati mereka jumpai
berbagai hambatan atau bahkan terkulaikan oleh hebatnya ibadah mereka
sampai datangnya kematian. Ia melakukan ini berdasarkan kelembutan,
kasih sayang dan kehormatan, juga untuk melatih agar hati mereka lembut,
karena Dia bijaksana, mengetahui, lembut terhadap mereka. Diriwayatkan,
bahwa Nabi saw. Sering berkata kepada Hadhrat Bilal sang muadzin:
"Wahai Bilal, gembirakanlah hati kami," Maksud beliau, hendaklah ia
serukan azan agar beliau bisa shalat, guna merasakan
perwujudan-perwujudan rahmat Ilahi, sebagaimana telah kita bicarakan.
Itulah sebabnya Nabi saw bersabda: "Dan mataku sejuk, bila aku shalat."
"...(wacana-wacana ini) diilhamkan kepadaku dari khazanah dunia ghaib.."
Karya terpenting sang wali -- disamping Fath al-Rabbani dan Qasidah
al-Ghautsiyah. Terlepas dari sifatnya yang nyata-nyata mistis, kumpulan
berbagai wacana tentang masalah tasawuf ini, mudah dipahami. Sayyid Abu
Muhammad Abdul Qadir Jailani, lahir di Jilan, Persia pada 1077M, adalah
seorang wali-sufi yang telah mencapai peringkat ghauts -- yang, dalam
peristilahan tasawuf, hanya berada setingkat di bawah Nabi. Sebagai
seorang mujahid pemelihara ruh Islam, ia adalah muhyiddin (pembangkit
iman) yang berpengaruh atas sejarah Islam, hingga kini. tarekat
Qadiriyah --salah satu tarekat yang paling popular di dunia Islam,
termasuk di Indonesia-- berpangkal pada tokoh ini.